Tuesday 29 March 2011

Tukang Kayu

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat.

Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya. Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya.

Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta.

Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri karirnya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan. Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. "Ini adalah rumahmu, " katanya, "hadiah dari kami."

Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik.

Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri. Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda. Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu.

Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi.

Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk dalam barisan kemenangan


cerita ini diambil dari (http://giajemursarisurabaya.blogspot.com )

Monday 28 March 2011

J.O.Y

Cassius Clay, yang kemudian dikenal sebagai Muhammad Ali, adalah seorang petinju legendaris yang akhirnya menjadi penceramah agama di masa tuanya. Petinju berotak cerdas yang selalu tampil dengan ”aksi tarian” setiap kali bertinju ini, membukukan kemenangan 19 kali pada awal karirnya di dunia tinju pro. Selama bertinju di ring professional 56 kali, Ali menang KO 37 kali dan kalah 5 kali. Di masa tuanya, Ali yang menderita sakit parkinson itu berganti kegiatan, yakni menjadi penceramah agama dan banyak melakukan kegiatan bersifat amal.

Untuk apa kita hidup di dunia ini? Ada sebuah ungkapan berkata, “Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.” Masalahnya, bagaimana kalau kita mati muda ketika sedang menjalani hidup untuk mencari kesenangan dunia ini? Mampukah kita menolak atau mencegah datangnya maut ketika batas usia kita telah habis? Segala jerih payah yang kita tujukan untuk kesenangan diri, masihkah mengandung arti yang layak dibahas dengan bangga hati?

Tidak sedikit orang yang baru memberi diri bagi Tuhan pada sisa-sisa hidupnya. Ketika sudah tua, tenaga sudah tidak cukup kuat atau sakit-sakitan, ia baru bersedia untuk melayani Tuhan. Kelompok ini menganggap bahwa mengejar kekayaan dan ketenaran sebagai hal utama, sedangkan mencari Tuhan itu urusan belakang. Ironi! Tuhan yang seharusnya diutamakan, justru hanya mendapat remah-remahnya setelah kita mengenyam masa-masa hidup dengan segenap hawa nafsu. Masa ketika fisik masih kuat, dengan potensi penuh kita arahkan untuk kepentingan duniawi. Setelah masa berganti, kita memberikan sisa-sisa kepada-Nya, bukan yang terbaik.

Cinta kepada Tuhan terlihat dari bagaimana kita memprioritaskan Tuhan dalam hidup ini. Pada urutan ke berapa Tuhan diutamakan dalam hidup Anda? Yesus mengajarkan bahwa jika kita memprioritaskan-Nya, mencari kerajaan dan kebenaran-Nya, maka segala berkat akan Tuhan tambahkan. Bagaimana dengan prioritas kita hari ini. Apakah doa pagi ini membuktikan bahwa Tuhan berada di urutan paling akhir? Berbahagialah kita yang menempatkan-Nya sebagai Pribadi Utama di kehidupan ini!


Cerita ini diambil dari ( http://giajemursarisurabaya.blogspot.com )

pendaki gunung

Suatu ketika, ada seorang pendaki gunung yang sedang bersiap-siap melakukan perjalanan. Di punggungnya, ada ransel carrier dan beragam carabiner (pengait) yang tampak bergelantungan. Tak lupa tali-temali yang disusun melingkar di sela-sela bahunya. Pendakian kali ini cukup berat, persiapan yang dilakukan pun lebih lengkap.

Kini, di hadapannya menjulang sebuah gunung yang tinggi. Puncaknya tak terlihat, tertutup salju yang putih. Ada awan berarak-arak disekitarnya, membuat tak seorangpun tahu apa yang tersembunyi didalamnya. Mulailah pendaki muda ini melangkah, menapaki jalan-jalan bersalju yang terbentang di hadapannya. Tongkat berkait yang di sandangnya, tampak menancap setiap kali ia mengayunkan langkah.

Setelah beberapa berjam-jam berjalan, mulailah ia menghadapi dinding yang terjal. Tak mungkin baginya untuk terus melangkah. Dipersiapkannya tali temali dan pengait di punggungnya. Tebing itu terlalu curam, ia harus mendaki dengan tali temali itu. Setelah beberapa kait ditancapkan, tiba-tiba terdengar gemuruh yang datang dari atas. Astaga, ada badai salju yang datang tanpa disangka. Longsoran salju tampak deras menimpa tubuh sang pendaki. Bongkah-bongkah salju yang mengeras, terus berjatuhan disertai deru angin yang membuat tubuhnya terhempas-hempas ke arah dinding.

Badai itu terus berlangsung selama beberapa menit. Namun, untunglah tali-temali dan pengait telah menyelamatkan tubuhnya dari dinding yang curam itu. Semua perlengkapannya telah lenyap, hanya ada sebilah pisau yang ada di pinggangnya. Kini ia tampak tergantung terbalik di dinding yang terjal itu. Pandangannya kabur, karena semuanya tampak memutih. Ia tak tahu dimana ia berada.

Sang pendaki begitu cemas, lalu ia berkomat-kamit, memohon doa kepada Tuhan agar diselamatkan dari bencana ini. Mulutnya terus bergumam, berharap ada pertolongan Tuhan datang padanya.

Suasana hening setelah badai. Di tengah kepanikan itu, tampak terdengar suara dari hati kecilnya yang menyuruhnya melakukan sesuatu. "Potong tali itu.... potong tali itu."

Terdengar senyap melintasi telinganya. Sang pendaki bingung, apakah ini perintah dari Tuhan? Apakah suara ini adalah pertolongan dari Tuhan? Tapi bagaimana mungkin, memotong tali yang telah menyelamatkannya, sementara dinding ini begitu terjal? Pandanganku terhalang oleh salju ini, bagaimana aku bisa tahu? Banyak sekali pertanyaan dalam dirinya. Lama ia merenungi keputusan ini, dan ia tak mengambil keputusan apa-apa...

Beberapa minggu kemudian, seorang pendaki menemukan ada tubuh yang tergantung terbalik di sebuah dinding terjal. Tubuh itu tampak membeku,dan tampak telah meninggal karena kedinginan. Sementara itu, batas tubuh itu dengan tanah, hanya berjarak 1 meter saja....

Teman, kita mungkin kita akan berkata, betapa bodohnya pendaki itu, yang tak mau menuruti kata hatinya. Kita mungkin akan menyesalkan tindakan pendaki itu yang tak mau memotong saja tali pengaitnya. Pendaki itu tentu akan bisa selamat dengan membiarkannya terjatuh ke tanah yang hanya berjarak 1 meter. Ia tentu tak harus mati kedinginan karena tali itulah yang justru membuatnya terhalang.

Begitulah, kadang kita berpikir, mengapa Sang Pencipta tampak tak melindungi hamba-Nya? Kita mungkin sering merasa, mengapa ada banyak sekali beban,masalah, hambatan yang kita hadapi dalam mendaki jalan kehidupan ini. Kita sering mendapati ada banyak sekali badai-badai salju yang terus menghantam tubuh kita. Mengapa tak disediakan saja, jalan yang lurus, tanpa perlu menanjak, agar kita terbebas dari semua halangan itu?

Namun teman, cobaan yang diberikan Sang Pencipta buat kita, adalah latihan, adalah ujian, adalah layaknya besi-besi yang ditempa, adalah seperti pisau-pisau yang terus diasah. Sesungguhnya, di dalam semua ujian dan latihan itu, ada tersimpan petunjuk-petunjuk, ada tersembunyi tanda-tanda, asal KITA PERCAYA.

Ya, asal kita percaya.

Seberapa besar rasa percaya kita kepada Sang Pencipta, sehingga mampu membuat kita "memotong tali pengait" saat kita tergantung terbalik? Seberapa besar rasa percaya kita kepada Sang Pencipta, hingga kita mau menyerahkan semua yang ada dalam diri kita kepada-Nya?

Karena percaya adanya di dalam hati, maka tanamkan terus hal itu dalam kalbumu. Karena rasa percaya tersimpan dalam hati, maka penuhilah nuranimu dengan kekuatan itu. Percayalah, akan ada petunjuk-petunjuk Sang Pencipta dalam setiap langkah kita menapaki jalan kehidupan ini. Carilah, gali, dan temukan rasa percaya itu dalam hatimu. Sebab, saat kita telah percaya, maka petunjuk itu akan datang dengan tanpa disangka.


Cerita in diambil dari (
http://giajemursarisurabaya.blogspot.com )

Sunday 27 March 2011

Raja segala raja

Seorang pegolf terkenal diundang raja Saudi Arabia untuk bermain dalam sebuah turnamen golf. Pegolf tersebut menerima undangan itu, dan sang raja menerbangkan pesawat jet pribadinya ke Amerika serikat untuk menjemput pegolf profosional tersebut. Mereka bermain golf selama beberapa hari, dan menikmati saat menyenangkan. Sementara pegolf itu naik keatas pesawat untuk kembali ke Amerika Serikat, sang raja menghentikannya dan berkata, “ Saya ingin memberikan kepada Anda sebuah hadiah karena Anda sudah mau datang sejauh ini dan membuat waktu ini begitu istimewa. Apapun yang Anda inginkan, apakah yang dapat saya berikan kepada Anda?”

Karena selalu bersikap sopan, pegolf itu menjawab, “oh, mohon jangan berikan saya apapun. Anda telah begitu ramah kepada saya. Saya telah mengalami waktu yang menyenangkan. Saya tidak dapat meminta apapun lagi.

Tetapi sang raja bersikeras ingin memberikan sesuatu kapada pegolf itu. Untuk kenang-kenangan mengingat perjalanannya di sini.

Akhirnya pegolf sadar bahwa sng raja bersikeras dan dia bilang “ baiklah, saya mengoleksi tongkat golf. mengapa anda tedak memberikan sebatang tongkat golf kepada saya”.

Ia naik pesawat, dan pada perjalanan pulang, ia tidak bisa tidak bertanya-tanya tongkat golf seperti apa yang akan diberikan raja itu kepadanya. Ia membayangkan bahwa itu adalah sebatang tongkat golf yang terbuat dari emas murni dengan ukiran namanya. Atau mungkin tongkat yang bertatahkan berlian dan permata. Lagipula, ini akan merupakan sebuah hadiah dari raja Saudi Arabia yang kaya minyak.

Saat pegolf itu tiba dirumah, ia memperhatikan kotak pos dan layanan paket setiap hari, untuk melihat jika tongkat golfnya sudah datang. Akhirnya, beberapa minggu kemudian, ia menerima sepucuk surat dari raja Saudi Arabia itu. Pegolf profesional Amerika tersebut mengira bahwa hal itu aneh.

“Dimana tongkat golf ku?” ia bertanya-tanya.

Ia membuka sampulnya dan ia terkejut, Ia menemukan didalamnya ada sebuah kertas akte tanah lapangan golf seluas 232 hektar di Amerika.

Nah, hari ini kita belajar satu hal:
Kadang-kadang Raja berpikir lain dari Anda dan saya. Dan kita melayani Raja segala raja. Kita melayani Tuhan yang Mahatinggi, dan impian-Nya bagi kehidupan Anda jauh lebih besar dan baik dibanding yang bahkan dapat Anda bayangkan.
“……………….apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia; semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” 1 KORINTUS 2:9

Cerita ini di ambil dari ( Generation of Faith, di Facebook )

Saturday 26 March 2011

Penjagamu Tidak akan Terlelap...

Ada sebuah suku pada bangsa Indian yang memiliki cara yang unik untuk mendewasakan seorang anak laki-laki. Kalau anak laki-laki itu sudah merasa cukup umur untuk di dewasakan, maka dia dibawah oleh seorang pria yang tak dikenal, dan bukan sanak saudaranya dengan mata tertutup.

Dan anak laki-laki tersebut di bawah jauh kehutan yang terdalam. Ketika hari sudah mulai gelap, Tutup matanya di buka dan ia di tinggal sendirian. Dan ia akan dinyatakan sudah dewasa kalau ia tidak berteriak di dalam hutan tesebut.

Malam begitu pekat, sampai telapak tangannyapu tidak kelihatan. Begitu mulai gelap ia pun mulai takut. Hutan mengeluarkan suara yang meyeramkan, auman serigala, suara gemerisik dahan, dan ia semakin ketakutan, tetapi ia harus diam, ia tidak boleh menangis atau berteriak, ia berusaha untuk lulus dalam tes ini.

satu detik sama dengan satu hari, satu menit sama dengan berbulan-bulan, dan satu jam sama dengan bertahun-tahun, ia tidak dapat melelapkan matanya, keringat ketakutan berjatuhan di sekujur tubuhnya.

Matahari mulai kelihatan, ia pun mulai gembira. Dan ketika ia melihat sekelilingnya, ia kaget, begitu ia melihat bahwa ayahnya ada di belakangnya dengan posisi yang siap memanah, dengan golok di selipkan di pinggangnya , menjaga anaknya sepanjang malam, jikalau ada binatang buas yang akan memakannya, maka ia akan segera melepaskan anak panahnya, sebelum binatang buas itu mendekatinya, sambil berdoa untuk anaknya agar ia tidak berteriak atau menagis.

Nah, hari ini kita belajar satu hal:
Dalam mengarungi kehidupan ini, sepertinya Tuhan "begitu kejam" melepaskan anak-anakNya kedalam dunia yang jahat ini. Terkadang kita tidak dapat melihat penyertaanNya, namun satu hal yang pasti Ia setia, Ia mengasihi kita, dan Ia selalu ada bagi kita..

Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi. IA takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap" MAZMUR 121: 2-3


Cerita ini di ambil dari ( Generation of Faith, di Facebook )

JEMBATAN

Alkisah di suatu pinggiran kota ada sebuah sungai lebar dan ada sebuah jembatan besar yang menjembatani ujung satu dengan ujung yang lainnya. Sehari-harinya jembatan itu terbuka karena kapal-kapal yang lewat di sungai tersebut. Apabila ada kereta api yang hendak melintas, maka jembatan itu harus diturunkan dan disatukan sehingga kereta api bisa melintas. Begitu kereta api lewat, maka jembatan akan dinaikkan kembali.

Untuk menaikkan atau menurunkan jembatan itu seorang bapak tua dipercayakan untuk menjalankan tuas. Ia sehari-harinya duduk di sebuah bangunan kecil di sisi kiri sungai tersebut untuk mengatur control tuas tersebut.

Suatu malam, seperti biasa pak tua itu sedang menunggu kereta api terakhir yang lewat. Ia melihat di kejauhan ada cahaya samar-samar dari lampu kereta api. Ia pun kemudian masuk dan menurunkan jembatan.

Tetapi sesuatu terjadi. Mendadak tuasnya macet dan jembatan tidak bisa diturunkan. Bila jembatan tidak diturunkan, maka kereta api yang lewat akan terus dan mencebur ke sungai. Pak tua itu tahu persis kalau kereta api tersebut bermuatan penumpang dan bukan barang. Dan apabila kereta api tersebut menabrak dan masuk ke sungai akan memakan banyak korban jiwa!
Pak tua itu kemudian berlari menuruni tangga ke bawah jembatan tersebut. Di bawah jembatan tersebut ada sebuah tuas untuk menurunkan jembatan secara manual. Tetapi tuas tersebut tidak bisa terkunci secara otomatis sehingga perlu seseorang untuk menahan tuas tersebut hingga kereta api lewat.

Pak tua itu menahan tuas tersebut sebisa mungkin hingga kereta api lewat. Ia mendengar suara kereta api makin lama makin mendekat. Dia harus mempertahankan posisi kereta tersebut karena apabila tidak, maka banyak jiwa yang akan melayang karena kelalaiannya.
Tiba-tiba terdengar suara dari ujung sana. Anak laki-lakinya yang berumur empat tahun keluar dari bangunan kontrol dan mencari-cari ayahnya.

“Ayah! Ayah! Ayah di mana?” serunya sambil berjalan hati-hati dalam kegelapan mencari-cari ayahnya.

Pak tua tersebut langsung pucat! Sekujur tubuhnya menjadi dingin melihat anak tersebut berjalan di rel kereta api tersebut. “Lari!! Cepat lari dari sana!!” serunya.
Tetapi sepasang kaki mungil putranya itu tidak akan bisa membuat anak itu lari cepat menghindar.

Hampir saja pak tua itu berlari untuk menyelematkan anaknya. Tetapi kemudian pak tua tersebut menyadari kalau ia tidak akan bisa kembali tepat pada waktunya untuk mempertahankan posisi jembatan apabila ia meninggalkan tuas tersebut. Selama sepersekian detik pak tua tersebut harus mengambil keputusan sulit: tetap mempertahankan posisi jembatan atau lari menyelamatkan putranya.

Beberapa saat kemudian kereta api berjalan dengan mulus, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seluruh penumpang di kereta itu tidak menyadari kalau ada seorang anak kecil yang tertabrak dan terlempar ke dalam sungai. Mereka juga tidak menyadari malam itu seorang pria tua yang malang menangis sambil terus memegangi tuas tersebut.

Mereka juga tidak melihat langkah gontai pak tua tersebut ketika pulang. Langkah yang lebih pelan dari biasanya ketika berjalan pulang ke rumah, memberi tahu keluarganya begitu tragis kematian putra mereka.

Teman-teman, hari ini kita ingat satu hal :
Tahukah Anda begitulah perasaan Bapa di surga ketika putraNya yang tunggal mati di kayu salib. Seorang Bapa yang rela mengorbankan anakNya hanya untuk mempertahankan posisi jembatan yang menghubungkan kita manusia dengan hidup yang abadi. Mungkin itulah mengapa langit terbuka dan bumi bergoncang, berkabung ketika Yesus mati di kayu salib. Sudah saatnya kita menyadari betapa berharganya pengorbanan Yesus di kayu salib yang mati untuk menebus dosa kita.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” YOHANES 3:16


Cerita ini diambil dari ( Generation of Faith, di Facebook )